Tuesday, December 31, 2013

Interrobang



Suara ribut mengacaukan pikiranku.
            Kuintip asal suara yang sepertinya berasal dari bawah. Benar saja. Sudah ada sekitar 5-10 anak umur 6 tahunan yang berlarian seperti ayam yang baru saja disembelih tepat di depan rumahku. Berlarian bersamaan. Berteriak pula secara bersamaan. Bisakah kau bayangkan suara tangis, tawa, amarah, teriakan memanggil tidak jelas diteriakkan dalam satu waktu yang sama dengan volume suara paling keras? Sebagaimana Dede, 6 tahun, mengerang serta meringis kesakitan gara-gara adiknya Baim, 5 tahun, menumpahkan percikan petasan murahan di atas telapak kakinya. Sebagaimana Nia, 7 tahun, menangis minta diberi iba oleh ibunya karena belum mau masuk ke dalam rumah untuk mandi sore. Sebagaimana Appi, 7 tahun, yang memerintahkan teman-temannya untuk tetap tenang, takut seorang ibu paruh baya yang tinggal di rumah besar yang sering memberinya kue kering terganggu ketenangannya, yang justru membuat suasana makin riuh gara-gara suara keras teriakan komandonya itu.
            Rasanya mau muntah saja.
            Kemudian dengan sikap peduli-setan-dengan-anak-anak-abnormal-itu, kupalingkan wajahku dari sudut jendela kamar yang sedari tadi kujadikan tempat memantau situasi. Baru beberapa langkah menjauh dari jendela, kudengar suara tawa keras yang dibuat-buat. Persis suara tawa artis-artis cilik dungu yang tergabung dalam 1 grup penyanyi amatir, yang tidak cukup dengan menyengsarakan telingaku dengan suara nyanyiannya, mereka juga beradu peran dalam sebuah opera sabun. Tawa palsu. Mungkin itu deskripsi paling tepat untuk jenis tawa seperti itu. Kuintip lagi jendela kamarku, ternyata tawa palsu itu berasal dari mulut lebar remaja pecandu gaul yang memang sering duduk-duduk di pelataran rumahnya untuk berbagi cerita dengan teman-teman sebayanya. Oh tunggu, bukan berbagi cerita, tapi bergosip ria. Gosipnya tentu tidak kalah murahannya dengan kaus potongan v-neck yang selalu dikenakan Olga Syahputra, misalnya seperti “eh tadi teman sekelasku pacarnya datang ke kelas loh, trus disorakin sama kita semua!”, atau “eh sebenarnya aku tuh pacaran sama anaknya Ibu Ira. Itulo si Mamad, yang ganteng dan rambutnya mohawk itu. Cuma dia masih malu gitu ngakuinnya.”
            Lho-lho-lho. Tunggu dulu. Gosip yang terakhir itu tadi adalah gosip terbaru, masih fresh. Dia pacaran sama Mamad? Mamad kan... sepupuku?! Mamad, anak lelaki umur 14 tahun yang pendiam dan jarang keluar rumah. Digilai oleh remaja-remaja putri di kompleks sini karena wajahnya yang memang lumayan good-looking­. Dan demi segala yang suci, Mamad adalah remaja tanggung paling polos, saking polosnya, sikapnya bahkan masih seperti anak umur 9 tahun. Lalu atas dalil apa, remaja kegatalan tadi mendeklarasikan dirinya sebagai pacar Mamad?!
****
            Siang-siang begini, sekitar kompleksku sepi sekali.
            Aku baru saja pulang dari kampus. Kuletakkan ranselku di kursi, kemudian kuintip sedikit tudung saji di atas meja makan. Hmm, tempe goreng tepung, sayur capcay, ikan tumis kecap, dan sambal goreng terasi sudah tersedia dengan sangat ciamik. Seiring dengan perutku yang sepertinya sudah melakukan demonstrasi besar-besaran minta untuk diisi, kuraih piring lalu menyendok nasi dari pemanas. Tapi, belum sampai piringku di atas meja makan, suara gaduh dari jalanan depan rumah mengagetkanku. Untuk sepersekian detik saja, jika aku tidak cekatan, piringku mungkin sudah pecah berkeping-keping.
            Dengan alis yang rasanya sudah bersatu sama lain karena emosi, aku keluar dari rumah untuk melihat gerangan apa suara ribut sarat akan faktor yang bisa membuat tekanan darah melambung tinggi. Ternyata asalnya dari motor vespa tua yang sedang melintas lambat. Apa aku terlalu berlebihan menanggapinya karena mungkin saja pemiliknya adalah kakek-kakek yang setua dengan vespa antiknya itu, dan jalan lambat karena yah... karena dia sudah renta. Tapi bukan. Pemilik vespa terkutuk itu bukan kakek-kakek yang patut dikasihani. Pemiliknya adalah pemuda urakan yang menggimbalkan rambut panjangnya, memakai topi hijau-kuning-merah kebanggaan komunitas rasta. Dibelakang plat nomor polisinya ditempelkan tongkat tipis yang berdiri lebih tinggi dari motor dan diatasnya diikatkan bendera yang bertuliskan “dilarang buang sampah di sini”
            Sungguh ingin sekali aku buang hajat diatas motor terhina itu.
            Cara jalannya yang super-lamban membuat suara dentuman dari mesin vespa itu semakin keras saja. Aku berdiri terpaku di depan pagar menatap pemuda urakan itu memainkan aksinya. Kutatap dengan tatapan tajam setajam badik ayahku di hari raya idul adha.yang ditatap malah santai-santai saja. Entah karena memang tidak peduli atau karena kacamata hitam KW 7 nya itu terlalu gelap sampai dia tidak menyadari sedang diperhatikan.
            “Dia tinggal pas dibelakang rumah kamu tuh”, ujar seorang ibu-ibu bertubuh gempal dari seberang jalan. Dia itu tetangga depan rumahku. Sepertinya ia agak-agak concerned sama tatapanku yang sedikit lagi mengeluarkan laser merah mematikan.
            “Oooh... motornya heboh yah.” Ucapku datar. Di sinilah gunanya anger management yang belakangan ini kulatih baik-baik.
            “Sudah banyak tetangga yang negur. Tapi yah pemuda tetap saja pemuda. Tidak mau diatur.”, aku cuma nyengir sedikit. “saya masuk dulu, bu.” Ucapku pamit, ibu-ibu itu mengangguk sambil tersenyum
            Jika sudah ditegur, tetap saja berbuat semaunya, lantas apa beda pemuda itu dengan anjing yang tetap buang air kecil di sudut-sudut rumah meski sudah berkali-kali dihujat?!
****
            Mataku serasa mau berdarah saja.
            Aku baru saja melihat pemandangan paling menyedihkan; seorang mahasiswi yang satu kampus denganku berdiri di sampingku. Hanya berdiri memang. Kami sama-sama sedang menunggu angkutan kota. Bagian menyedihkannya baru kusadari saat tak sengaja aku berbalik ke samping tepat dimana mahasiswi itu berdiri. Betapa menyedihkannya mahasiswi itu. Ia memakai blazer warna ungu terang dengan motif bunga-bunga besar, dengan dalaman warna merah tua masih dengan motif bunga-bunga tapi motifnya lebih kecil. Bawahannya memakai rok model A, dengan strip-strip hitam besar dengan warna dasar putih. Entah karena gaya jaman sekarang atau memang area rumahnya sedang banjir, panjang rok tersebut tidak sampai di mata kaki sebagaimana mestinya. Rok itu justru menggantung manja di pertengahan betis, nyaris sampai di bawah lutut. Betis yang seharusnya menjadi salah satu hal yang tidak boleh diperlihatkan oleh wanita berjilbab, dibungkus rapi dengan balutan kaus kaki berwarna putih cerah. Niat awal mungkin terlihat modis, tapi ironisnya di pergelangan kaus kakinya yang sesekali terintip olehku, terpampang jelas logo merk “Adidas” dalam artian kaus kakinya itu sejatinya adalah kaus kaki untuk pemain sepak bola.
            Jilbabnya pun tak kalah menyedihkannya.
            Jilbab segiempat yang dikenakannya pada dasarnya sama dengan jilbab yang sedang kupakai. Tapi, terhasut oleh tipu daya tips kecantikan jilbab kece yang sekarang sedang marak di pasaran, jilbab tak berdosa itu dililit sedemikian rupa, ditusuk dengan pentul di sana-sini, dan diberi pemanis berupa pin berbentuk bunga besar yang disematkan di ujung kanan kepalanya. Jilbab yang sudah rame dengan (lagi-lagi) motif bunga-bunga itu, justru diperparah dengan kehadiran 1 benda aneh yang besar itu.
            Lama diperhatikan, entah kenapa aku jadi kasihan.
            Terlalu lama berada di dekatnya pun dosa ku menjadi tambah menggunung.
            Aku memilih diam. Diam yang lama, sampai angkutan kota selanjutnya datang dan mengangkut mahasiswi itu. Aku memilih naik taksi saja. Untuk apa wanita jaman sekarang terlalu menonjolkan diri seperti itu?! Untuk dilirik pria atau untuk mengundang petugas TramTib menangkapnya gara-gara dandanannya seperti badut ilegal?!
****
            Telepon genggamku berdering, ada pesan sepertinya.
            Pesan itu berisi pemberitahuan bahwa kuliah yang seharusnya dimulai jam 4, dimajukan jadi jam 2. Aku yang tadinya mau pulang dulu untuk istirahat sejenak, terpaksa berubah haluan dan meminta supir taksi berhenti di depan restoran fast food terdekat. Dengan waktu yang tinggal sejam saja, aku memesan 1 paket makan siang dan cepat-cepat mencari kursi untuk duduk mengeksekusi makan siangku hari ini.
            Pada jam makan siang seperti ini, restoran cepat saji lumayan penuh. Setelah  lama berkelana, akhirnya aku mendapatkan satu tempat duduk kosong. Tanpa pikir panjang lagi, kutaruh nampan makananku di meja dan memulai makan.
            “Kamu kok gitu sih. Orangnya doyan banget ngambek...”
            “Aku gak ngambek kok, sayang. Aku cuma gak suka kalo kamu mulai ngungkit-ngungkit mantan kamu lagi...”
            “tapi kan-tapi kan... aku kan-aku kan....”
            Lagi dan lagi, aku mau muntah. Kulirik sepasang kekasih yang menjadi sumber segala kalimat memuakkan yang baru saja kudengar itu. Tiba-tiba saja, ayam goreng bersalut tepung renyah di hadapanku menjadi terlihat menjijikkan. Terpaksa kupanggil pelayan yang sedang berseliweran kemudian makananku yang baru sesuap kumakan itu kuminta dibungkus. Beberapa menit kemudian, pelayan itu datang dan memberikanku kantung kresek berwarna putih yang sudah siap dibawa. Aku meninggalkan restoran cepat saji yang mulai terasa sesak itu.
            Dan untuk pasangan kekasih tadi, kalau ingin mempertengkarkan masalah se-personal itu, kenapa harus di tempat umum yang notabene sudah menjadi tempat favoritku itu?! Kenapa?!
****

            Dalam seminggu ini, baru aku menonton TV.
            Kucari channel menarik, tiba-tiba di salah satu channel TV terkemuka diputar satu ajang pencarian bakat yang mencari penyanyi yang katanya mempunyai “faktor unik” yang belum pernah ada di Indonesia. Kemudian, seorang remaja umur 16 tahun naik ke atas panggung dan menyanyikan sebuah lagu bahasa inggris. Suaranya lumayan, meskipun suara sengaunya kedengarannya dilebih-lebihkan, at least she can sing. Tapi entah ditiup badai apa, di tengah-tengah nyanyiannya, si kontestan itu terlihat meracau tak karuan. Kesalahan klasik penyanyi amatiran; lupa lirik. Hampir setengah lagu diisi dengan babbling tidak jelas, dan anehnya juri yang sekaligus jadi mentornya itu malah berdiri dan tepuk tangan.
            What?
            Buat apa tepuk tangan? Untuk menyemangati kesalahan fatalnya?!
            Belum selesai penampilan kontesan tadi, kuganti channel dan Oh. My. Holy. God. Yang kudapati adalah channel yang menayangkan acara gosip, dan di dalamnya ada laporan eksklusif tentang kehidupan sebuah keluarga kecil yang dahulu dikepalai seorang penceramah kondang yang 2 minggu lalu dengan tragisnya meninggal gara-gara tidak bisa mengendalikan sepeda motor besarnya. Di sela-sela liputan, istri dari penceramah tersebut menangis tersedu-sedu, dan dibelakangnya hadir 2 anaknya yang bertugas untuk mengusap-usap punggung ibunya. Sudah 2 minggu bahkan hampir memasuki minggu ketiga, tapi berita itu tetap saja diulang ulang.
            Mengapa jaman sekarang kesedihan pun dikomersilkan?!
****
            Sekarang aku berdiri di tengah ruang serba putih yang luas. Sendiri saja.
            Tiba-tiba dari belakangku muncul segerombolan anak-anak dan menghambur ke arahku. Karena kaget, aku jadi tidak bisa berkutik dan membiarkan diriku diterkam oleh serbuan anak-anak. Satu-satu, mereka meneriakkan teriakan memekakkan tepat di lubang telingaku. Rasanya gendang telingaku jadi pecah. Kututup rapat-rapat telingaku sambil menundukkan kepala. Kemudian, lama-lama suara itu mulai hilang seiring dengan menghilangnya gerombolan anak-anak tadi. Kudongakkan kepalaku dan kulihat sekitar.
            Tidak ada orang.
            Aku mulai berlari mencari jalan keluar. Tapi sejauh apapun lariku, rasanya ruangan ini tidak ujungnya. Lalu dari belakang, suara dentuman mesin vespa menggema-gema ke seluruh ruangan. Aku berbalik, dan dengan kecepatan sangat tinggi, vespa butut kepunyaan pemuda urakan belakang rumah itu melaju ke arahku. Aku melanjutkan lariku, tapi bunyi motor itu semakin mendekat. Semakin dekat dan sangat mendekat sampai akhirnya aku capek berlari dan kubiarkan punggungku pasrah ditabrak motor jahannam itu. Tapi tidak. Saat motor itu rasanya sudah sekian centi dekatnya, suara motor itu mendadak hilang. Hilang tiba-tiba seperti hilangnya gerombolan anak-anak tadi.
            Aku berbalik, dan betapa kagetnya aku.
            Dari kejauhan, ada mahasiswi freak yang kutemui di tempat menunggu angkot, ada juga sepasang kekasih yang membuatku mual, ada kontestan pencarian bakat tukang lupa lirik, dan ada istri beserta 2 anak sang almarhum penceramah kondang berlarian ke arahku. Mereka seperti meneriakkan sesuatu, tapi aku tak mendengarnya. Aku berdiri mematung menunggu saat-saat horror aku dimangsa oleh mereka semua. Semakin dekat massa itu semakin jelas kata-kata yang mereka ucapkan;
           

            “DINY BANGUN!! SUDAH MAGHRIB!!!”
           

            Sontak aku terbangun.
             Ternyata kejadian tadi hanya mimpi dan teriakan keras tadi adalah teriakan ibuku yang membangunkan tidur lelapku tadi. Kutengok jendela kamar yang sedari tadi kubiarkan terbuka. Anak-anak kelebihan glukosa yang kuceritakan tadi sedang bermain-main di luar. Masih dengan degup jantung yang tidak karuan akibat mimpi tadi, kuseret kakiku menuju jendela, dan dengan pelan, kututup daun jendela kamarku. Rapat-rapat.

0 comments: