Suara ribut mengacaukan
pikiranku.
Kuintip
asal suara yang sepertinya berasal dari bawah. Benar saja. Sudah ada sekitar
5-10 anak umur 6 tahunan yang berlarian seperti ayam yang baru saja disembelih
tepat di depan rumahku. Berlarian bersamaan. Berteriak pula secara bersamaan.
Bisakah kau bayangkan suara tangis, tawa, amarah, teriakan memanggil tidak
jelas diteriakkan dalam satu waktu yang sama dengan volume suara paling keras?
Sebagaimana Dede, 6 tahun, mengerang serta meringis kesakitan gara-gara adiknya
Baim, 5 tahun, menumpahkan percikan petasan murahan di atas telapak kakinya.
Sebagaimana Nia, 7 tahun, menangis minta diberi iba oleh ibunya karena belum
mau masuk ke dalam rumah untuk mandi sore. Sebagaimana Appi, 7 tahun, yang memerintahkan
teman-temannya untuk tetap tenang, takut seorang ibu paruh baya yang tinggal di
rumah besar yang sering memberinya kue kering terganggu ketenangannya, yang
justru membuat suasana makin riuh gara-gara suara keras teriakan komandonya
itu.
Rasanya
mau muntah saja.
Kemudian
dengan sikap peduli-setan-dengan-anak-anak-abnormal-itu, kupalingkan wajahku
dari sudut jendela kamar yang sedari tadi kujadikan tempat memantau situasi.
Baru beberapa langkah menjauh dari jendela, kudengar suara tawa keras yang dibuat-buat.
Persis suara tawa artis-artis cilik dungu yang tergabung dalam 1 grup penyanyi
amatir, yang tidak cukup dengan menyengsarakan telingaku dengan suara
nyanyiannya, mereka juga beradu peran dalam sebuah opera sabun. Tawa palsu.
Mungkin itu deskripsi paling tepat untuk jenis tawa seperti itu. Kuintip lagi
jendela kamarku, ternyata tawa palsu itu berasal dari mulut lebar remaja
pecandu gaul yang memang sering duduk-duduk di pelataran rumahnya untuk berbagi
cerita dengan teman-teman sebayanya. Oh tunggu, bukan berbagi cerita, tapi bergosip
ria. Gosipnya tentu tidak kalah murahannya dengan kaus potongan v-neck yang selalu dikenakan Olga
Syahputra, misalnya seperti “eh tadi teman sekelasku pacarnya datang ke kelas
loh, trus disorakin sama kita semua!”, atau “eh sebenarnya aku tuh pacaran sama
anaknya Ibu Ira. Itulo si Mamad, yang ganteng dan rambutnya mohawk itu. Cuma dia masih malu gitu
ngakuinnya.”
Lho-lho-lho.
Tunggu dulu. Gosip yang terakhir itu tadi adalah gosip terbaru, masih fresh. Dia pacaran sama Mamad? Mamad
kan... sepupuku?! Mamad, anak lelaki umur 14 tahun yang pendiam dan jarang
keluar rumah. Digilai oleh remaja-remaja putri di kompleks sini karena wajahnya
yang memang lumayan good-looking. Dan
demi segala yang suci, Mamad adalah remaja tanggung paling polos, saking
polosnya, sikapnya bahkan masih seperti anak umur 9 tahun. Lalu atas dalil apa,
remaja kegatalan tadi mendeklarasikan dirinya sebagai pacar Mamad?!
****
Siang-siang
begini, sekitar kompleksku sepi sekali.
Aku
baru saja pulang dari kampus. Kuletakkan ranselku di kursi, kemudian kuintip
sedikit tudung saji di atas meja makan. Hmm, tempe goreng tepung, sayur capcay,
ikan tumis kecap, dan sambal goreng terasi sudah tersedia dengan sangat ciamik.
Seiring dengan perutku yang sepertinya sudah melakukan demonstrasi
besar-besaran minta untuk diisi, kuraih piring lalu menyendok nasi dari pemanas.
Tapi, belum sampai piringku di atas meja makan, suara gaduh dari jalanan depan
rumah mengagetkanku. Untuk sepersekian detik saja, jika aku tidak cekatan,
piringku mungkin sudah pecah berkeping-keping.
Dengan
alis yang rasanya sudah bersatu sama lain karena emosi, aku keluar dari rumah
untuk melihat gerangan apa suara ribut sarat akan faktor yang bisa membuat
tekanan darah melambung tinggi. Ternyata asalnya dari motor vespa tua yang
sedang melintas lambat. Apa aku terlalu berlebihan menanggapinya karena mungkin
saja pemiliknya adalah kakek-kakek yang setua dengan vespa antiknya itu, dan
jalan lambat karena yah... karena dia sudah renta. Tapi bukan. Pemilik vespa
terkutuk itu bukan kakek-kakek yang patut dikasihani. Pemiliknya adalah pemuda
urakan yang menggimbalkan rambut panjangnya, memakai topi hijau-kuning-merah
kebanggaan komunitas rasta. Dibelakang plat nomor polisinya ditempelkan tongkat
tipis yang berdiri lebih tinggi dari motor dan diatasnya diikatkan bendera yang
bertuliskan “dilarang buang sampah di sini”
Sungguh
ingin sekali aku buang hajat diatas motor terhina itu.
Cara
jalannya yang super-lamban membuat suara dentuman dari mesin vespa itu semakin
keras saja. Aku berdiri terpaku di depan pagar menatap pemuda urakan itu
memainkan aksinya. Kutatap dengan tatapan tajam setajam badik ayahku di hari
raya idul adha.yang ditatap malah santai-santai saja. Entah karena memang tidak
peduli atau karena kacamata hitam KW 7 nya itu terlalu gelap sampai dia tidak
menyadari sedang diperhatikan.
“Dia
tinggal pas dibelakang rumah kamu tuh”, ujar seorang ibu-ibu bertubuh gempal
dari seberang jalan. Dia itu tetangga depan rumahku. Sepertinya ia agak-agak concerned sama tatapanku yang sedikit
lagi mengeluarkan laser merah mematikan.
“Oooh...
motornya heboh yah.” Ucapku datar. Di sinilah gunanya anger management yang belakangan ini kulatih baik-baik.
“Sudah
banyak tetangga yang negur. Tapi yah pemuda tetap saja pemuda. Tidak mau
diatur.”, aku cuma nyengir sedikit. “saya masuk dulu, bu.” Ucapku pamit,
ibu-ibu itu mengangguk sambil tersenyum
Jika
sudah ditegur, tetap saja berbuat semaunya, lantas apa beda pemuda itu dengan anjing
yang tetap buang air kecil di sudut-sudut rumah meski sudah berkali-kali
dihujat?!
****
Mataku
serasa mau berdarah saja.
Aku
baru saja melihat pemandangan paling menyedihkan; seorang mahasiswi yang satu
kampus denganku berdiri di sampingku. Hanya berdiri memang. Kami sama-sama sedang
menunggu angkutan kota. Bagian menyedihkannya baru kusadari saat tak sengaja
aku berbalik ke samping tepat dimana mahasiswi itu berdiri. Betapa
menyedihkannya mahasiswi itu. Ia memakai blazer warna ungu terang dengan motif
bunga-bunga besar, dengan dalaman warna merah tua masih dengan motif
bunga-bunga tapi motifnya lebih kecil. Bawahannya memakai rok model A, dengan
strip-strip hitam besar dengan warna dasar putih. Entah karena gaya jaman
sekarang atau memang area rumahnya sedang banjir, panjang rok tersebut tidak
sampai di mata kaki sebagaimana mestinya. Rok itu justru menggantung manja di
pertengahan betis, nyaris sampai di bawah lutut. Betis yang seharusnya menjadi
salah satu hal yang tidak boleh diperlihatkan oleh wanita berjilbab, dibungkus
rapi dengan balutan kaus kaki berwarna putih cerah. Niat awal mungkin terlihat
modis, tapi ironisnya di pergelangan kaus kakinya yang sesekali terintip
olehku, terpampang jelas logo merk “Adidas” dalam artian kaus kakinya itu
sejatinya adalah kaus kaki untuk pemain sepak bola.
Jilbabnya
pun tak kalah menyedihkannya.
Jilbab
segiempat yang dikenakannya pada dasarnya sama dengan jilbab yang sedang
kupakai. Tapi, terhasut oleh tipu daya tips kecantikan jilbab kece yang
sekarang sedang marak di pasaran, jilbab tak berdosa itu dililit sedemikian
rupa, ditusuk dengan pentul di sana-sini, dan diberi pemanis berupa pin
berbentuk bunga besar yang disematkan di ujung kanan kepalanya. Jilbab yang
sudah rame dengan (lagi-lagi) motif bunga-bunga itu, justru diperparah dengan
kehadiran 1 benda aneh yang besar itu.
Lama
diperhatikan, entah kenapa aku jadi kasihan.
Terlalu
lama berada di dekatnya pun dosa ku menjadi tambah menggunung.
Aku
memilih diam. Diam yang lama, sampai angkutan kota selanjutnya datang dan
mengangkut mahasiswi itu. Aku memilih naik taksi saja. Untuk apa wanita jaman
sekarang terlalu menonjolkan diri seperti itu?! Untuk dilirik pria atau untuk
mengundang petugas TramTib menangkapnya gara-gara dandanannya seperti badut
ilegal?!
****
Telepon
genggamku berdering, ada pesan sepertinya.
Pesan
itu berisi pemberitahuan bahwa kuliah yang seharusnya dimulai jam 4, dimajukan
jadi jam 2. Aku yang tadinya mau pulang dulu untuk istirahat sejenak, terpaksa
berubah haluan dan meminta supir taksi berhenti di depan restoran fast food terdekat. Dengan waktu yang
tinggal sejam saja, aku memesan 1 paket makan siang dan cepat-cepat mencari
kursi untuk duduk mengeksekusi makan siangku hari ini.
Pada
jam makan siang seperti ini, restoran cepat saji lumayan penuh. Setelah lama berkelana, akhirnya aku mendapatkan satu
tempat duduk kosong. Tanpa pikir panjang lagi, kutaruh nampan makananku di meja
dan memulai makan.
“Kamu
kok gitu sih. Orangnya doyan banget ngambek...”
“Aku
gak ngambek kok, sayang. Aku cuma gak suka kalo kamu mulai ngungkit-ngungkit
mantan kamu lagi...”
“tapi
kan-tapi kan... aku kan-aku kan....”
Lagi
dan lagi, aku mau muntah. Kulirik sepasang kekasih yang menjadi sumber segala
kalimat memuakkan yang baru saja kudengar itu. Tiba-tiba saja, ayam goreng
bersalut tepung renyah di hadapanku menjadi terlihat menjijikkan. Terpaksa
kupanggil pelayan yang sedang berseliweran kemudian makananku yang baru sesuap
kumakan itu kuminta dibungkus. Beberapa menit kemudian, pelayan itu datang dan
memberikanku kantung kresek berwarna putih yang sudah siap dibawa. Aku
meninggalkan restoran cepat saji yang mulai terasa sesak itu.
Dan
untuk pasangan kekasih tadi, kalau ingin mempertengkarkan masalah se-personal
itu, kenapa harus di tempat umum yang notabene sudah menjadi tempat favoritku
itu?! Kenapa?!
****
Dalam
seminggu ini, baru aku menonton TV.
Kucari
channel menarik, tiba-tiba di salah satu channel TV terkemuka diputar satu
ajang pencarian bakat yang mencari penyanyi yang katanya mempunyai “faktor
unik” yang belum pernah ada di Indonesia. Kemudian, seorang remaja umur 16
tahun naik ke atas panggung dan menyanyikan sebuah lagu bahasa inggris.
Suaranya lumayan, meskipun suara sengaunya kedengarannya dilebih-lebihkan, at least she can sing. Tapi entah ditiup
badai apa, di tengah-tengah nyanyiannya, si kontestan itu terlihat meracau tak
karuan. Kesalahan klasik penyanyi amatiran; lupa lirik. Hampir setengah lagu
diisi dengan babbling tidak jelas,
dan anehnya juri yang sekaligus jadi mentornya itu malah berdiri dan tepuk
tangan.
What?
Buat
apa tepuk tangan? Untuk menyemangati kesalahan fatalnya?!
Belum
selesai penampilan kontesan tadi, kuganti channel dan Oh. My. Holy. God. Yang kudapati adalah channel yang menayangkan
acara gosip, dan di dalamnya ada laporan eksklusif tentang kehidupan sebuah
keluarga kecil yang dahulu dikepalai seorang penceramah kondang yang 2 minggu
lalu dengan tragisnya meninggal gara-gara tidak bisa mengendalikan sepeda motor
besarnya. Di sela-sela liputan, istri dari penceramah tersebut menangis
tersedu-sedu, dan dibelakangnya hadir 2 anaknya yang bertugas untuk
mengusap-usap punggung ibunya. Sudah 2 minggu bahkan hampir memasuki minggu
ketiga, tapi berita itu tetap saja diulang ulang.
Mengapa
jaman sekarang kesedihan pun dikomersilkan?!
****
Sekarang
aku berdiri di tengah ruang serba putih yang luas. Sendiri saja.
Tiba-tiba
dari belakangku muncul segerombolan anak-anak dan menghambur ke arahku. Karena
kaget, aku jadi tidak bisa berkutik dan membiarkan diriku diterkam oleh serbuan
anak-anak. Satu-satu, mereka meneriakkan teriakan memekakkan tepat di lubang
telingaku. Rasanya gendang telingaku jadi pecah. Kututup rapat-rapat telingaku
sambil menundukkan kepala. Kemudian, lama-lama suara itu mulai hilang seiring
dengan menghilangnya gerombolan anak-anak tadi. Kudongakkan kepalaku dan
kulihat sekitar.
Tidak
ada orang.
Aku
mulai berlari mencari jalan keluar. Tapi sejauh apapun lariku, rasanya ruangan
ini tidak ujungnya. Lalu dari belakang, suara dentuman mesin vespa menggema-gema
ke seluruh ruangan. Aku berbalik, dan dengan kecepatan sangat tinggi, vespa
butut kepunyaan pemuda urakan belakang rumah itu melaju ke arahku. Aku
melanjutkan lariku, tapi bunyi motor itu semakin mendekat. Semakin dekat dan
sangat mendekat sampai akhirnya aku capek berlari dan kubiarkan punggungku
pasrah ditabrak motor jahannam itu. Tapi tidak. Saat motor itu rasanya sudah
sekian centi dekatnya, suara motor itu mendadak hilang. Hilang tiba-tiba
seperti hilangnya gerombolan anak-anak tadi.
Aku
berbalik, dan betapa kagetnya aku.
Dari
kejauhan, ada mahasiswi freak yang
kutemui di tempat menunggu angkot, ada juga sepasang kekasih yang membuatku
mual, ada kontestan pencarian bakat tukang lupa lirik, dan ada istri beserta 2
anak sang almarhum penceramah kondang berlarian ke arahku. Mereka seperti
meneriakkan sesuatu, tapi aku tak mendengarnya. Aku berdiri mematung menunggu
saat-saat horror aku dimangsa oleh mereka semua. Semakin dekat massa itu
semakin jelas kata-kata yang mereka ucapkan;
“DINY
BANGUN!! SUDAH MAGHRIB!!!”
Sontak
aku terbangun.
Ternyata kejadian tadi hanya mimpi dan
teriakan keras tadi adalah teriakan ibuku yang membangunkan tidur lelapku tadi.
Kutengok jendela kamar yang sedari tadi kubiarkan terbuka. Anak-anak kelebihan
glukosa yang kuceritakan tadi sedang bermain-main di luar. Masih dengan degup
jantung yang tidak karuan akibat mimpi tadi, kuseret kakiku menuju jendela, dan
dengan pelan, kututup daun jendela kamarku. Rapat-rapat.